Kamis, 19 April 2012

DILEMA PARTAI DAKWAH, DEMOKRASI DAN SYARIAH



Islamedia - Pemilukada atau Pilgub DKI Jakarta sebentar lagi digelar, begitu juga Kota Bekasi sebagai penyangga ibu kota, sementara pemilukada kabupaten Bekasi baru saja usai, walaupun proses perhituangan suara masih berjalan sampai nanti pada saatnya KPU mengumumkan hasil perhitungan suara. Walaupun proses perhitungan suara belum usai dan  masih terus berlangsung, salah satu dari tiga pasangan diusung oleh partai dakwah. Bagaimana nasib partai dakwah (partai islam) di Indonesia?
Akankah kemenangan partai dakwah seperi saudara-saudaranya di Timur Tengah terulang kembali di Indonesia? paling tidak ada tiga dilema yang sedang dihadapi partai dakwah yakni pertama pragmatisme politik, kedua apatisme politik, dan ketiga mempertahankan idealisme, menyikapi kekalahan dan fitnah yang akan berpengaruh kepada citra partai dakwah di mata publik. Jika tiga dilema di atas mampu diselesaikan dengan baik saya yakin kemenangan partai dakwah seperti di Timur Tengah mustahil tidak bisa diulang di Indonesia. Artinya sesuatu hal yang masih bisa dimungkinkan untuk terjadi.
Masyarakat yang pragmatis biasanya tidak melihat visi calon pemimpin mereka ke depan tetapi melihat siapa yang memberika uang pada saat menghadapi pemilihan maka dia itulah yang mereka pilih.  Sehingga kehadiran masyarakat dengan type pragmatis akan berpeluang untuk maraknya politik uang atau money politik. Masyarakat yang pragmatis biasanya tidak melihat visi calon pemimpin mereka ke depan tetapi melihat siapa yang memberika uang pada saat itu dialah yang mereka pilih. 
Sedangkan masyarakat yang apatis dampaknya akan menambah jumlah pemilih yang golput yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, anehnya masyarakat dengan type ini muncul dari kalangan umat islam sendiri yang menganggap demokrasi tidak sesuai dengan islam dan termasuk perkara bidah. Padahal dalam islam persoalan kepemimpinan adalah merupakan perkara yang sangat penting, sampai-sampai ada dalam suatu keterangan hadits rosulullah apabila kita berjalan tiga orang maka ketiganya harus mengangkat salah seorang sebagai pemimpin.
Dalam hadits tersebut penulis tidak mengetahui bagaimana metode atau proses memilihnya. Yang jelas dalam perkara mu’amalah (selain ibadah), kaidah Islam dalam ushul fiqihnya menyatakan bahwa hukum asalnya adalah mubah atau boleh sampai ada dalil yang melarang untuk perkara tersebut.
Sedangkan dilema yang ketiga terkait dengan etika dalam menghadapi ujian kekalahan, sehubungan dengan itu maka citra partai dakwah janganlah jatuh apalagi runtuh karena kekalahan di dunia yakni dalam kompetisi berdemokrasi di hadapan publik, partai dakwah harus tetap tegar walaupun  secara manusiawi para kader dakwah akan mengalami shok atau down jika berhadapan dengan kondisi demikian, akan tetapi ia tidak sampai melemah atau futur, lupa diri apalagi su’udzon kepada Allah. Semua di balik itu pasti ada hikmah yang harus sama-sama di ambil ibrohnya.
Dalam era demokrasi seperti saat ini, semua orang bebas untuk berekspresi, berargumentasi dan berstrategi termasuk dalam agenda-agenda demokrasi yang ada didalam kehidupan masyarakat kita misalnya pilkada, pilgub, pilpres dan pemilu legislatif. Tak terkecuali bagi partai dakwah yang memiliki idealisme dan cita-cita yang luhur dan mulia. Di lapangan dia akan menemukan sebuah relitas masyarakat, tabiat dari sistem demokrasi itu sendiri dan strategi dari lawan politik.
Sebagaimana ditulis oleh salah satu pendiri dan tokoh partai dakwah dalam bukunya “Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih Kemenangan”, dalam tataran teori dan konsep, dakwah adalah sesuatu hal yang suci dan sakral untuk menciptakan suasana kehidupan kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, pemerintahan dan kepemimpinan yang diridhoi dan dibimbing oleh petunjuk dari Tuhan yang Maha Suci sehingga manusia hidup dalam keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Sementara disisi lain sistem politik dan demokrasi kita terikat kepada koridor hukum positif atau hukum formal yang berlaku di dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sehingga dalam merealisasikan cita-cita politik  sebuah entitas politik bisa saja berusaha mencari celah hukum dan berusaha menggunakan segenap keampuannya serta menghalalkan segala cara demi mencapai cita-cita dan tujuan politiknya. Selama tidak tersentuh oleh hukum yang ada atau berusaha dengan sengaja untuk mempermainkan hukum demi kepentingannya.
Lalu bagaimana partai dakwah seharusnya berkiprah dalam memenangkan cita-cita politiknya di tengah-tengah masyarakat yang belum melek politik serta kehidupan ekonomi dan kesejahteraan yang masih kurang, sehingga masyarakat pemilih cenderung pragmatis dan rawan politik uang, tulisan ini adalah sebagai ungkapan kegelisahan dan kekhawatiran akan adanya serta makin maraknya politik uang di dalam setiap event demokrasi. Sebagai contoh Pemilukada kabupaten Bekasi yang baru di gelar dua hari lalu, yakni 11 Maret 2012.
Walaupun politik uang sangat sulit untuk membuktikannya, tetapi gejala ke arah itu sangat tercium aromanya. Bahkan tak jarang lawan politik yang berniat melakukan kecurangan, sudah memberikan opini terlebih dahulu, bahwa lawan politiknya yang melakukan politik uang, dengan cara melakukan operasi media dan berbagai macam cara, sehingga kegiatan bakti sosial seperti yang dilakukan oleh istri salah satu pasangan kandidat bisa diopinikan dan diekspose lebih dahulu sebagai upaya melakukan money politic.
Sehingga pada saatnya mereka bisa melakukan hal yang sama dan bahkan lebih dahsyat lagi mereka lakukan pada waktu mendekati hari pemungutan suara. Sekali lagi politik uang memang sulit untuk dibuktikan tapi gejala dan tanda-tandanya bisa kita lihat dan kita rasakan.
Padahal antara bakti sosial dan money politik adalah beda-beda tipis. Perbedaan paling utamanya adalah bakti sosial dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa pemungutan suara, sementara politik uang dilakukan sangat dekat dengan hari pemungutan suara bahkan pada hari pemungutan suara. Akan tetapi hukum formal membolehkan bakti sosial dan melarang politik uang.
Walaupun proses perhituangan suara masih berjalan sampai nanti pada saatnya Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bekasi mengumumkan hasil perhitungannya, menurut informasi dari pihak KPU akan pada hari Ahad  (18/3). Pasangan Sa’duddin-Jamal (SAJA) yang diusung oleh tiga partai politik islam dan berbasis masa Islam yakni PKS, PPP dan PKB agak kewalahan dalam membendung suara dari pasangan Neneng-Rohim (NERO) yang diusung oleh Partai Golkar, Demokrat dan PAN.
Penulis berharap agar pelaksanaan pesta demokrasi ke depan praktek politik uang bisa diminimalisir mengingat dampaknya yang akan berpengaruh buruk baik kepada pasangan, partai pengususng maupun masyarakat itu sendiri. Pemerintah melalui KPU dan Panwaslu sebaiknya melakukan upaya-upaya cegah dini dalam menangkal politik uang ini karena akan ada kaitannya dengan korupsi yang makin hari semakin menjadi-jadi di negeri ini, walaupun sudah ada lembaga KPK.
Begitu juga dengan rendahnya partisipasi masyarakat dan tingginya angka golput, harus ada pendidikan politik bagi masyarakat, disamping itu lembaga politik dan partai politik memperbaiki citra dan kinerjanya di hadapan publik, para tokohnya memberikan keteladanan dalam berpolitik yang bersih, amanah dan profesional. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut dapat pulih kembali. Tunjukkan idiologi dan idealisme masing-masing sebagaimana telah digambarkan oleh Anis matta dalam bukunya di atas yaitu Menikmati Demokrasi.  Sehingga dari demokrasi ini lahir kesejahteraan bukan kesenjangan, lahir pemimpin sejati bukan pemimpin bayaran, lahir masyarakat yang berperadaban bukan masyarakat yang pragmatis apalagi anarkis.
Dakwah juga menikmati demokrasi. Para dai bebas berinteraksi dengan objek dakwah. Tapi, para pelaku kemunkaran pun bebas melakukan kemunkaran. Yang berlaku di sini bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah salah. Begitulah aturan main demokrasi.
Yang kemudian harus kita lakukan adalah mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas. Bagaimana membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif? Maka, penetrasi kekuasaan harus dilakukan dengan urutan-urutan begini. Pertama, menangkanlah wacana publik agar opini publik berpihak kepada kita. Inilah kemenangan pertama yang mengawali kemenangan-kemenangan selanjutnya.  Kedua, formulasikan wacana itu wacana itu ke dalam draf hukum untuk dimenangkan dalam wacana legalislasi melalui lembaga legislatif. Kemenangan legislasi ini menjadi legitimasi bagi negara untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.
Begitulah salah satu resep yang diberikan Anis Matta untuk memenangkan agenda dakwah di era demokrasi. Tidak tanggung-tanggung, Anis Matta memberi tiga puluh strategi. Karena itu, sudahkah kita menerapkan strategi-strategi tersebut dalam menghadapi “dakwah atau jihad politik” dalam setiap event-event dan kerja politik dalam bingkai partai dakwah dan koalisi dakwah di era sekarang ini? Jawabannya ada pada kita masing-masing.
Wallahu A’lam.

 

















Rabu, 25 Januari 2012


SEJARAH SUNDA

Peta Lokasina

Urang Sunda mangrupakeun salah sahiji séké sélér nu ngeusi utamana bagian kulon pulo Jawa, populasi kadua panglobana di Indonésia. Luyu jeung sajarahna, urang Sunda lolobana sumebar di lemah caina nu kiwari sacara administratif sumebar di propinsi Jawa Kulon, Banten, Jawa Tengah, DKI Jakarta, jeung Lampung kidul. Lian ti éta, program transmigrasi ti Tatar Sunda ka sababaraha wewengkon di Kalimantan jeung Sulawesi ogé ngahasilkeun kantong-kantong masarakat Sunda, katambah ku pribadi-pribadi nu sumebar di sakuliah dunya, nu utamana kadorong ku motif ékonomi.




















Basa Sunda
Umumna mah urang Sunda maké basa Sunda (aya sababaraha basa wewengkon, nu masing-masing boga ciri) dina paguneman sapopoé, ngan ka dieunakeun, basa Sunda téh beuki kadéséh ku basa gaul lianna, utamana ku basa Indonésia salaku basa nasional di Indonésia. Di wewengkon wates atawa nu sacara tradisional loba sélér séjén (Jawa), ilahar ogé dipaké basa campuran (Jawa Réang, Jawa Sérang), gumantung jeung saha ngobrolna. Kadéséhna basa Sunda ku basa Indonésia dipangaruhan ku sababaraha hal, di antarana kusabab basa Sunda teu kungsi dipakéna sacara formal, ayana béda basa wewengkon nu kadang dianggap nyusahkeun (sieun salah), sarta lobana sélér séjén nu datang ka Tatar Sunda.
salaku basa nasional di Indonésia. Di wewengkon wates atawa nu sacara tradisional loba sélér séjén (Jawa), ilahar ogé dipaké basa campuran (Jawa Réang, Jawa Sérang), gumantung jeung saha ngobrolna. Kadéséhna basa Sunda ku basa Indonésia dipangaruhan ku sababaraha hal, di antarana kusabab basa Sunda teu kungsi dipakéna sacara formal, ayana béda basa wewengkon nu kadang dianggap nyusahkeun (sieun salah), sarta lobana sélér séjén nu datang ka Tatar Sunda.
Budaya
Numutkeun sajarahna, cenah mah urang Sunda téh boga dasar budaya huma, sahingga condong ka solitér. Titinggal kaadaban kolot kapanggih di wewengkon sisi Situ Bandung Purba, Guha Pawon, sarta sababaraha situs arkéologi mangrupa kabuyutan/pamujaan mégalitik. Di Nusantara/Indonésia, bukti arkéologis nunjukkeun yén kaadaban tulis pangkolotna téh aya di Tatar Sunda. Karajaan-karajaan Sunda nu kacatet dina sajarah atawa katalungtik titinggalna aya sababaraha karajaan, di antarana Salakanagara, Kendan, Tarumanagara, Sunda, Galuh, Sumedanglarang, Cirebon, jeung Banten.


Ageman
Numutkeun titinggal arkéologis sarta naskah-naskah Sunda kuna nu tos katalungtik, urang Sunda jaman baheula boga ageman monotéis, nu ka dieunakeun kapangaruhan/katambah ku ajaran Hindu, Buda, Islam, jeung Kristen. Ageman pituin urang Sunda (Sunda Wiwitan) bisa kénéh ditempo di Kanékés, Banten, nu ti jaman baheula ngurung manéh tina kamodérenan. Kiwari, kalolobaan urang Sunda ngagem Islam.
Upajiwa
Alam Sunda nu taneuhna subur ngarojong ka urang Sunda kana hirup tatanén, boh anu mangrupi: sawah, huma, pakebonan sayur, jeung leuweung produksi. Ka dieunakeun, ku mekarna industri jeung dagang, pakasaban urang Sunda jadi rupa-rupa sakumaha ilaharna bangsa lian.
Stratifikasi sosial
Urang Sunda mah cenah katelah égalitér, kagambarkeun tina basa nu dipaké ku gegedén karajaan jeung cacah dina carita-carita tradisional nu teu wanoh kana undak-usuk atawa tingkatan basa. Kadieunakeun, utamana ti saprak dijajah Mataram, "kamonésan" Sultan Agung dina nyiptakeun undak-usuk basa ditiron ku para ménak Sunda, nu hasilna mangrupa jungkrang antara ménak jeung cacah. Dina jaman dijajah Walanda, dua tingkat sosial ieu kasambung ku istilah priyayi, golongan pagawé pamaréntahan (birokrat, militér, jeung guru) nu sabenerna mah lolobana kaasup golongan ménak kénéh. Dina awal abad ka-20, strata sosial ieu beuki luntur, komo sanggeus jaman kamerdikaan mah. Najan kitu, nepi ka kiwari, watek féodal téh kadang sok kaciri kénéh aya dina kahirupan urang Sunda.
Kasenian
Kasenian Sunda anu masih populér di masarakat di antarana Wayang Golék, tembang Cianjuran, penca, rupa-rupa ibing (jaipongan, tari merak, jsb.), calung, degung, angklung, carita pantun, beluk, jsb.
Ngaran
Urang Sunda mah ilaharna maké ngaran anu basajan, kadang cukup ku sakecap, bari jeung pondok. Ku ayana pangaruh Islam anu kuat, urang Sunda loba nu maké ngaran nu nyokot tina 'asma'ul husna' digabung jeung landihan tradisional. Mun dua kecap, kadang sok maké pola "tolong-menolong" (suku kecap nu diulang), misalna Cécép Gorbacép, Asép Gumasép, Didin Saépudin, jsb. Tapi, kitu sotéh ti golongan cacah, sabab pikeun golongan ménak mah (baheula), biasana mah ngaranna diwangun ku dua kecap, sahingga rada panjang. Misalna baé Umar Wirahadikusumah, Ginanjar Kartasasmita, Huséin Jayadiningrat, Huséin Sastranegara, jsb.
Raja-raja Karajaan Sunda

Di handap ieu runtuyan raja-raja nu kungsi mingpin Karajaan Sunda numutkeun naskah Pangéran Wangsakerta (mangsa kawasa dina Maséhi):
Tarusbawa (minantu Linggawarman, 669 - 723)
Harisdarma, atawa Sanjaya (minantu Tarusbawa, 723 - 732)
Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
Rakeyan Banga (739 - 766)
Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
Prabu Gilingwesi (minantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
Pucukbumi Darmeswara (minantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
Prabu Darmaraksa (adi beuteung Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)





Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
Rakeyan Jayagiri (minantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
Limbur Kancana (putra Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
Munding Ganawirya (964 - 973)
Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
Brajawisésa (989 - 1012)
Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
Prabu Linggadéwata (1311-1333)
Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (nu perlaya dina Perang Bubat, 1350-1357)
Prabu Bunisora (1357-1371)
Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
Prabu Susuktunggal (1475-1482)
Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
Prabu Surawisésa (1521-1535)
Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
Prabu Sakti (1543-1551)
Prabu Nilakéndra (1551-1567)
Prabu Ragamulya atawa Prabu Suryakancana (1567-1579)

JEUNG EROPA

















Hubungan jeung Éropah

Karajaan Sunda geus lila boga hubungan dagang jeung bangsa-bangsa lian kaasup bangsa Éropah. Karajaan Sunda ogé malah pernah ngalakukeun hubungan politik jeung bangsa Portugis. Dina taun 1522, karajaan Sunda nandatangan pajangjian Sunda-Portugis anu dina pajangjian éta téh Portugis dibeunangkeun ngawangun bénténg di palabuan Sunda Kalapa. Sabagé bayaranna, Portugis dikudukeun mantuan karajaan Sunda dina nyanghareupan serangan ti Demak sarta Cirebon nu karek misahkeun diri ti karajaan Sunda.




 Ku : Ki Jaga R.
Parahiyangan, Parahyangan, atawa Priangan mangrupakeun hiji wewengkon di pulo Jawa bagian kulon, sabagian ti Tatar Sunda/propinsi Jawa Kulon kiwari, nu legana kurang leuwih 21500 km2 (sapergenep lega pulo Jawa).











Étimologi

Parahiyangan asal tina kecap 'rahiyang' nu maké rarangkén pa-an, nu hartina tempat para rahiyang (sebutan pikeun raja atawa putra raja) atawa hiyang. Kecap ieu kapanggih dina naskah Carita Parahiyangan nu dijieun kira abad ka-16. Ku kituna, mun matok kana harti ieu, mangka Parahiyangan téh nujul ka sagemlengna Tatar Sunda, henteu ukur wilayah anu ayeuna dipikawanoh salaku Priangan.

Géografis

Priangan ayeuna nyaéta wewengkon di Propinsi Jawa Barat nu ngawengku Kabupatén Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, jeung Banjar nu gedéna kira-kira sapergenep ti lega wewengkon Pulo Jawa (kurang leuwih 21.524 km pasagi). Di beulah kalér watesna jeung Karawang, Purwakarta, Subang jeung Indramayu; beulah wétan watesna jeung Majaléngka, Kuningan. Jeung Jawa Tengah diwatesanan ku Citanduy; beulah kidul diwatesan ku Samodra Indonésia; beulah kulon watesna wewengkon Sukabumi jeung Bogor.

Lahan daérah Priangan: dataran rendah, pasir-pasir, gunung-gunung nu jumlahna kaitung loba, di antarana: Gunung Gedé, Gunung Ceremé (asup ka wilayah Majalengka, Kuningan tur Ciamis), Gunung Kancana, Gunung Masigit (Cianjur), Gunung Salak (asup ka wilayah Bogor jeung Sukabumi); Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, Gunung Malabar, Gunung Bukit Tunggul (Bandung); Gunung Tampomas, Gunung Calancang, Gunung Cakra Buana (Sumedang); Gunung Guntur, Gunung Haruman, Gunung Talagabodas, Gunung Karacak, Gunung Galunggung (Garut); Gunung Cupu, Gunung Cula Badak, Gunung Bongkok (Tasikmalaya); Gunung Sawal (Ciamis). Dilingkung ku gunung, Priangan kawentar subur sabab loba ogé walunganana.

Sajarah

Saméméh ragrag kana kakawasaan Mataram, wilayah Priangan ngawengku daérah antara walungan Cipamali di béh wétan jeung walungan Cisadané di béh kulon, iwal wilayah Pakuan Pajajaran, Jakarta, jeung Cirebon. Sanggeus Karajaan Sunda runtag dirurug Banten (1579/1580), wewengkon nu teu dikawasa Banten kabagi kana dua kakawasaan: Sumedang Larang jeung Galuh. Sumedang Larang nu puseur pamaréntahanana di Kutamaya (wilayah kulon Kota Sumedang kiwari) dipingpin ku Prabu Geusan Ulun (1580-160. Saméméh taluk ka Mataram nu keur dipingpin ku Sutawijaya (1586-1601), Galuh mangrupakeun karajaan mandiri (1580-1595).







Taluk ka Mataram

Sapupusna Prabu Geusan Ulun, kakawasaan Sumedang Larang diwariskeun ka anak téréna, Radén Aria Suriadiwangsa (1608-1624). Dina taun 1620, alatan kacapit ku tilu kakawasaan di sabudeureunana, (Mataram ti béh wétan, Banten jeung Kompeni ti béh kulon), Aria Suriadiwangsa milih nyerahkeun manéh ka Mataram (anjeunna masih turunan Mataram ti indungna Ratu Harisbaya, dulur Sutawijaya). Ti harita, Sumedang Larang dirobah jadi Kabupatén Sumedang nu dikawasa ku Mataram. Kitu deui wewengkon séjénna, jadi kabupatén bawahan Mataram nu diawaskeun ku Wadana Bupati Priangan. Pikeun kalungguhan Wadana Bupati Priangan munggaran, Sultan Agung milih Aria Suriadiwangsa kalawan gelar Pangéran Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I, 1620-1624).

Nalika kakawasaan di Priangan dicepeng ku Pangéran Rangga Gedé (ngawakilan Rangga Gempol nu ditugaskeun mantuan nalukkeun daérah Sampang, Madura), Sumedang diserang Banten. Kusabab teu bisa numpurkeun serangan Banten, Rangga Gedé ditahan di Mataram, sedengkeun Priangan dipasrahkeun ka Dipati Ukur, kalawan sarat kudu bisa ngarebut Batavia ti VOC. Dipati Ukur harita nyepeng kalungguhan Wadana Bupati Priangan di wewengkon Bandung kiwari, nu ngabawah wilayah Sumedang, Sukapura, Bandung, Limbangan, sarta sawaréh Cianjur, Karawang, Pamanukan, jeung Ciasem.

Alatan gagal ngalaksanakeun sarat ngarebut Batavia (162, jeung sadar yén anjeunna bakal dihukum ku Sultan Agung, Dipati Ukur baruntak. Baruntakna Dipati Ukur kakara bisa tumpur taun 1632, sabab Mataram dibantu ku sawatara pamingpin di Priangan. Kalungguhan Wadana Bupati Priangan lajeng dipasrahkeun deui ka Rangga Gedé.

Akibat tina baruntakna Dipati Ukur ka Mataram, dina Piagem Sultan Agung titimangsa 9 Muharam taun Alip (ceuk F. de Haan, taun Alip téh sarua jeung taun 1641 Maséhi, tapi aya sawatara katerangan séjén yén taun Alip idéntik jeung taun 1633), daérah Priangan di luar Galuh dibagi deui jadi opat kabupatén:

Sumedang (Rangga Gempol II, sakaligus Wadana Bupati Priangan), Sukapura (Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradadaha), Bandung (Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wiraangun-angun), Parakan Muncang (Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya). Wewengkon Priangan ogé dimekarkeun deui ku dirobahna Karawang jadi kabupatén mandiri, sedengkeun wilayah Galuh (Priangan Wétan) dibagi opat kabupatén: Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, jeung Kawasén.

Sapupusna Sultan Agung (1645), Mataram dipingpin ku putrana, Sunan Amangkurat I (Sunan Tegalwangi, 1645-1677). Antara taun 1656-1657, wilayah Mataram Kulon (Mancanegara Kilen) dibagi kana dua welas ajeg sakaligus ngahapus wadana bupati di Priangan: Sumedang, Parakan Muncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasén, Wirabaja (Galuh), Sekacé (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).

Dipasrahkeun ka VOC-Hindia Walanda

Wilayah Priangan ragragna ka VOC saméméh Mataram bener-bener taluk ka VOC (1757). Dumasar kana "perjangjian" Mataram jeung Kumpeni, taun 1677 (perjangjian 19-20 Oktober) Priangan Kulon & Tengah pindah dikawasa Kumpeni, sedengkeun Priangan Wétan jeung Cirebon taun 1705 (perjangjian 5 Oktober).

Dina piagem titimangsa 15 Nopémber 1684, Kumpeni sacara resmi ngangkat para pamingpin Priangan pikeun maréntah daérahna séwang-séwangan. Taun 1706 VOC ngangkat Pangéran Aria Cirebon jadi Bupati Kumpeni, nu tugasna ngawaskeun & ngokolakeun bu[ati-bupati di Priangan sangkan tukuh kana kawajiban-kawajibanana ka Kumpeni. Nalika jaman Kumpeni ieu, Priangan jadi salah sahiji sumber hasil bumi utama ku ayana program nu disebut Preangerstelsel (Sistim Priangan), nu utamana ngahasilkeun kopi. Dina jaman Hindia Walanda (satutasna VOC bangkrut), gubernur munggaran H. W. Daendels ngayakeun proyék Grote Postweg (Jalan Raya Pos), nyaéta ngawangun jalan ti Anyer di tungtung kulon Jawa nepi ka Panarukan di tungtung wétan. Lian ti éta, Daendels ogé beuki ngahangkeutkeun melak kopi di Priangan, utamana di daérah Cianjur, Bandung, Sumedang, jeung Parakan Muncang (1808-1809).

Limbangan, Sukapura, jeung Galuh digabung jeung Cirebon (Cheribonshe Preangerlanden), tapi teu sawatara lila Limbangan jeung Sukapura dikaluarkeun ti wilayah administrasi Cirebon.

Dina mangsa pamaréntah Hindia Walanda (1808-1942), status Priangan nyaéta karésidénan, nu munggaran ibukotana di Cianjur, salajengna ibukota karésidénan Priangan pindah ka Bandung (ti taun 1864). Ku asupna Galuh (awal abad ka-20), wilayah Karésidénan Priangan nambahan. Priangan jadi 6 kabupatén; Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan (Garut), Sukapura (Tasikmalaya), jeung Galuh (Ciamis).
 Uga Wangsit Siliwangi
http://smansalingga82.files.wordpress.com/2010/07/wangsit-siliwangi.jpg?w=100&h=150Pun, sapun kula jurungkeun… Mukakeun turub mandepun… Nyampeur nu dihandeuleumkeun… Teundeun poho nu baréto… Nu mangkuk di saung butut… Ukireun dina lalangit… Tataheun di jero iga!

Pidawuh Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang: Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia kudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon! Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak! Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang! Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada! Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.

Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal! Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang.

Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!“.***




Rujukan:
  • Carita Parahyangan, naskah Sunda nu nyaritakeun karajaan Galuh jeung Sunda.
  • Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
  • Hardjasaputra, A. Sobana (2004). Bupati di Priangan: kedudukan dan peranannya pada abad ke-17 - abad ke-19. Bupati di Priangan dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda, kaca 9-65. Pusat Studi Sunda, Bandung.
  • Ajip Rosidi, spk. (2000). Énsiklopédi Sunda. Pustaka Jaya, Jakarta.

Sumber : www.sundanologi.blogspot.com













































logo Jawa_Barat.png
Foto Gubernur Jawa Barat.jpg




















logo KAB BEKASI.jpgFoto Bupati Bekasi.jpg











                 


Pilih SAJA.jpgLanjut SAJA.jpg





















Sumagga lajeungkeun wae.jpg                                          


































                               Paguyuban Sumedang-Bekasi siap sukseskan pemilukada kabupaten Bekasi dan mendukung pasangan no. 2 SAJA === Sumangga>>> LAJEUNGKEUN WAE>>>>  tukang kue rangina, tukang somayna, tukang gorengan nana insya Allah nu ngagaduhan KTP BEKASI milih no. 2 WAE (SAJA). by : www.sumedang-bekasi.blogspot.com